KOTA manado Provinsi Sulawesi utara dikenal sebagai kota yang memiliki resiko yang cukup tinggi terhadap bencana banjir, hal ini disebabkan kota manado dikelilingi oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano dan beberapa sungai kecil lainnya. Dimana kondisi aliran sungai ini telah mengalami perubahan lahan akibat aktivitas manusia maka diperlukan peran serta masyarakat dalam mengurangi bencana banjir yang terjadi.
Konsep water front city dapat menjadi sebuah solusi mengelola salah satu titik rawan banjir yaitu bantaran sungai. Penerapan konsep ini memiliki banyak manfaat selain sebagai upaya pencegahan dari dampak banjir itu sendiri, dapat juga memberi nilai estetika, dan menjadi lokasi wisata baru.
Berdasarkan inisiatif Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Dendengan Luar Kecamatan Paal Dua bekerjasama dengan pemerintah, sehingga berdirilah Water Front City dan Pos Pemantau Banjir kota Manado.
Pada tahun 2009, Lokasi yang terletak di bantaran sungai Jalan masuk Martadinata VIII ini, dinobatkan pemerintah pusat sebagai Juara II Lomba Kelurahan Tingkat Nasional. Menteri Pekerjaan Umum saat itu, Djoko Kirmanto datang langsung ke lokasi Water Front City dan Pos Pemantau Banjir yang digagas Ketua LPM Dendengan Luar Petrus Poluan alias Hok Naga dan Lurah Dendengan Luar saat itu, Jimmy Rotinsulu.
Namun sayang, selang beberapa tahun terakhir, lokasi Water Front City dan Pos Pemantau Banjir diterpa bencana Banjir. Tak pelak, rencana pemerintah kota untuk menjadikan destinasi wisata pinggiran sungai ini telah terabaikan.
Padahal, water front city menjadi salah satu grand strategy Pemerintah Kota Manado periode 2011-2015, yang mempunyai keunggulan infrastruktur dan fasilitas yang bertaraf internasional. Sayangnya hal itupun tak terjadi hingga tahun 2021.
Konsep water front city dapat menjadi sebuah solusi mengelola salah satu titik rawan banjir yaitu bantaran sungai. Dari berbagai hasil penelitian, fungsi utama water front city yaitu adanya kolam yang akan berfungsi sebagai Retarding Basin, yang akan meredam aliran banjir lokal sehingga berguna sebagai penampungan banjir sementara. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan dalam penerapan kebijakan, aturan dan pedoman, khususnya yang berkaitan dengan penataan kawasan yang humanis di daerah maupun perkotaan.
Teringat, Staf Ahli Andrei Angouw, Paul Sembel dimasa Kampanye Pemilihan Walikota Manado, pernah mengatakan AA-RS ingin menata kota Manado menjadi lokasi wisata seperti kota besar di Singapura dan di negara eropa, satu diantaranya yang disebut pengembangan konsep Water Front City yang terletak di Dendengan Luar.
“Coba media mengangkat tentang konsep pariwisata, pembangunan Water Front City seperti diluar negeri. Ada tempat santai di pinggiran sungai,” tutur orang dekat Walikota Manado kala itu.
Bak gayung bersambut, warga pun berharap, diera kepemimpinan Walikota Manado Andrei Angouw dan Wakil Walikota Richard Sualang, penerapan konsep water front city dan Pos Pemantau Banjir bisa kembali dibangun dan dijadikan destinasi wisata, demi menunjang program pemerintah menuju Manado maju dan sejahtera.
“Pak Walikota dan Wakil Walikota Manado, kiranya dapat mengunjungi Water Front City dan Pos Pemantau Banjir di daerah kami dan melihat langsung kondisi saat ini. Besar harapan kami, Pak Walikota bisa menjadi lokasi wisata sehingga bisa menciptakan lapangan kerja bagi warga sekitar di situasi pandemi Covid 19 ini,” ucap Hok Naga, panggilan akrab Petrus Poluan, kepada wartawan, Sabtu (11/09/2021).
Sementara itu, santer terdengar renovasi pembangunan Pos Pemantau Banjir oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Manado tahun anggaran 2019, masih belum terbayarkan dan telah masuk sebagai hutang pemerintah Kota, hasil rekomendasi BPK RI. Sayangnya, hingga memasuki akhir tahun 2021, Hutang tersebut belum dilunaskan kepada pihak ketiga yang membangun pos pemantau banjir. Padahal, pos tersebut menjadi satu-satunya titik pemantauan banjir oleh pemerintah dan TNI/Polri jika terjadinya hujan deras di Kota Manado. (*/RoKa)