SENTANI,KARABAS.ID – Kejaksaan Tinggi Papua saat ini tengah mendalami adanya dugaan penyalahgunaan anggaran pembangunan Hotel Thabita Convention Sentani, Kabupaten Jayapura.
Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Nikolaus Kondomo mengatakan, pelaksanaan pekerjaan pembangunan Hotel Thabita Convention Sentani, yang dilakukan oleh PT. Plaza Crystal International (PCI) selaku pemenang tender.
Alokasi anggaran untuk pembangunan Hotel Thabita Convention Sentani itu sebesar Rp. 72.877.339.120,-, yang bersumber dari APBD Kabupaten Jayapura tahun anggaran 2019.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanahan, Perumahan dan Kawasan Permukiman (DP2KP) Kabupaten Jayapura, Terry F. Ayomi, menilai tidak ada indikasi penyalahgunaan anggaran dalam pembangunan Hotel Thabita Convention Sentani, Kabupaten Jayapura.
“Jadi di situ yang saya ingin klarifikasi soal salah penggunaan, sebenarnya bukan salah penggunaan anggaran. Tetapi, ada kelebihan pembayaran uang muka dan itu yang pihak ketiga belum kembalikan hingga saat ini,” tutur Terry Ayomi, saat memberikan keterangan kepada sejumlah awak media diruang kerjanya, di Kantor Bupati Jayapura, Gunung Merah, Sentani, Kabupaten Jayapura, Kamis (8/7/2021) siang.
Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Jayapura selaku penyedia kerja terkait dengan pembangunan Hotel Thabita Convention Sentani, yang saat ini pekerjaannya mandek akibat persoalan internal dan sehubungan dengan pekerjaan itu pihak Pemda Kabupaten Jayapura memberikan verifikasi atau tanggapannya terkait pernyataan dari pihak Kejaksaan Tinggi Papua yang menyebutkan bahwa ada penyalahgunaan anggaran dalam pembangunan hotel yang sedianya akan digunakan untuk mendukung perhelatan PON XX Tahun 2021 mendatang.
Terry mengatakan pekerjaan pembangunan hotel ini sudah berjalan dan Pemkab Jayapura sudah kasih uang muka. Menurut dia, nilai Rp. 3 miliar lebih yang menjadi temuan dari hasil audit LHP BPK RI dan ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Tinggi Papua terkait pembangunan hotel tersebut, sesungguhnya itu bukan penyalahgunaan. Namun, ada kelebihan pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada pihak ketiga dan itu seharusnya segera dikembalikan oleh pihak ketiga.
Dijelaskannya, pekerjaan hotel Thabita itu dimulai bulan September 2019 lalu. Namun karena kontrak jamak, maka harusnya berakhir di bulan Agustus tahun 2020.
Kemudian, pada bulan Januari 2020 lalu progres pekerjaannya mulai menurun. Sehingga di bulan Februari 2020, Pemerintah Kabupaten Jayapura meminta penjelasan dari pihak ketiga terkait progres pekerjaan pembangunan hotel itu. Namun, pada saat undangan pertama pimpinan perusahaan tidak memenuhi undangan, sehingga pemerintahpun belum mendapatkan klarifikasi mengenai bobot pekerjaan yang masih terlambat.
“Kita mengundang untuk kedua kalinya, dia tidak hadir sama sekali. Kemudian, kita mengundang yang ketiga kalinya lagi, malah yang hadir dia punya kuasa hukum,” bebernya.
Dari situ, Pemkab Jayapura melihat tidak ada lagi itikad baik dari pihak ketiga. Kemudian, pemerintah mengeluarkan surat teguran pertama dan kedua yang diberikan sekaligus. Di mana, dalam surat itu pemerintah daerah meminta agar pihak ketiga bisa menjelaskan mengenai progres pekerjaan dan rencana kerja ke depan untuk mengejar ketertinggalan pekerjaan pembangunan itu. Tapi, hal itu juga tidak berdampak terhadap progres pekerjaannya. Selanjutnya, pihaknya menyurat ke BPKP guna melihat laporan – laporan dari pemerintah terkait pekerjaan pembangunan hotel itu.
“Jadi pihak BPK sudah melihat surat-menyurat yang kita punya, progresnya semua sudah jelas. Hanya kita ada rencana pemutusan, maka itu kita harus membuat surat teguran yang ketiga. Kita buat surat peringatan (SP) ketiga, tetapi dia juga tidak menjawab. Sehingga sesuai aturan Keppres kita bikin pemutusan,” bebernya.
Lanjut Terry, di dalam pemutusan kontrak itu ada tiga (3) item yang harus dilaksanakan oleh pihak ketiga. Pertama, pihak ketiga harus mengembalikan jaminan pelaksanaan dan kelebihan pembayaran, kemudian perusahaannya harus di blacklist. Untuk uang jaminan pelaksanaan itu sudah dikembalikan melalui Bank Bukopin ke kas daerah. Sementara untuk kelebihan pembayaran senilai lebih dari 3 miliar rupiah itu belum dilakukan oleh pihak ketiga.
“Pembayaran progres pekerjaan di triwulan pertama, karena kita mengejar kecepatan kerja. Sehingga kita tidak memotong uang mukanya, jadi uang muka dihitung dengan pembayaran di triwulan itu yang BPK menganggapnya sebagai suatu kelebihan,” tukasnya.(*/JeKa)